Kaidah Hajr; Mengisolasi Ahli Bidah atau Pelaku Maksiat
Jawab : (Sebelum memberikan jawaban, Syaikh Ibrahim ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah menjelaskan bahwa, beliau sudah menjelaskan masalah ini pada daurah di Malang dan direkam. Bagi yang berminat, bisa mendengarkannya, Red).
Pembicaraan tentang persoalan ini sebenarnya panjang, namun akan saya ringkas.
Hajr itu disyari’atkan dengan tiga tujuan;
Pertama, mungkin untuk kemaslahatan si penghajr itu sendiri. Hajr ini disyari’atkan atas setiap orang yang khawatir bahaya buruk akibat bergaul dengan seseorang. Maka bagi orang yang khawatir ini disyari’atkan untuk meninggalkan orang yang mempengaruhinya itu.
Kedua. Hajr disyari’atkan untuk kebaikan umat. Yaitu hajr yang dilakukan oleh para ulama atau tokoh atas diri seseorang. Dalam melakukan hajr atas seseorang ini, adalah untuk kemaslahatan dan kebaikan umat. Sebagaimana Nabi صلى الله عليه وسلم telah meng-hajr seseorang yang memiliki hutang dengan tidak bersedia menshalatkannya, demi kebaikan.
Syaikhul Islam mengatakan, Nabi صلى الله عليه وسلم tidak menshalati orang yang berhutang itu dengan tujuan memberikan peringatan, agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama dengan perbuatan orang ini.
Ketiga. Hajr disyari’atkan untuk kebaikan si mahjur (orang yang diisolasi). Orang yang melakukan palangggaran, (maka ia) dilihat, jika dengan diberlakukan hajr akan mendatangkan manfaat untuknya, maka dia dihajr. Dan ini pun mengacu dengan beberapa kaidah. Di antaranya, orang yang melakukan hajr adalah orang yang kuat dan berpengaruh, serta yang dikenakan hajr ini adalah orang yang bisa memetik faidah (manfaat) dari hajr.
Jika orang yang melakukan hajr lemah, tidak berpengaruh, dan orang yang dikenakan hajr juga tidak bisa memetik manfaat, bahkan semakin buruk, maka dalam kondisi seperti ini tidak disyari’atkan hajr. Bahkan terkadang disyari’atkan untuk ta’lif (berlemah-lembut dengannya).
Apa yang saya sampaikan ini merupakan kandungan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Jadi, hajr itu memiliki kaidah-kaidah, dan tujuannya adalah untuk kemaslahatan. Saat kemaslahatan itu bisa diwujudkan, maka hajr diberlakukan. Jika tidak, maka terkadang yang disyari’atkan adalah berlemah-lembut.
Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/soal-jawab/kaidah-hajr-mengisolasi-ahli-bidah-atau-pelaku-maksiat/